:

Wednesday, September 2, 2009

Ai Mayela (Pohon Mayela)

AI MAYEALA (POHON MAYEALA)
Di Ekosistem Prai Pitting
Nenek moyong orang Sumba sejak dahulu mengenal satu jenis kayu yang tergolong sangat kuat untuk bahan tiang utama dalam membangun rumah adat. Jenis kayu tersebut menurut dialek bahasa Wanukaka dikenal dengan nama Mayeala, dan untuk daerah-daerah lain di Sumba menurut David Mitchell (2009) menyebutnya dengan nama: mayela (Kambera, Anakalang), mazela (Weiwewa), maghela (Kodi). Menurut David Mitchell (2009) bahwa meyela termasuk kayu most prestigious bagi orang Sumba dan dibedakannya atas tiga variates, yaitu: mayela taramanu (with spikes on its trunk), mayela karara (has lobate leaves like bredfruit = karara) dan mayela naga ( has oval leaves like jackfruit = naga). Sejak dahulu pula bahwa orang Sumba mengenal mayeala sebagai jenis pohon langka (jarang) tumbuhnya, termasuk di dalam kawasan-kawasan hutan besar, hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa adat sebagai berikut:
mayeala tubu dona,
kapaka jaji meaha
artinya : pohon mayeala tumbuh sendirian,
pohon kapaka jadi tunggal.
Ada pula satu ungkapan lain dalam bahasa Sumba (Wanukaka) terkait kayu mayeala sebagai bahan tiang dalam membangun rumah adat Sumba sebagai berikut:
bora ai mayeala,
bangi ai kawihu
artinya: bora (nama laki-laki) sebagai simbol dari 2 tiang kayu
mayeala dari 4 tiang utama pada rumah adat
bangi (nama perempuan) sebagai simbol dari 2 tiang kayu
kawihu dari 4 tiang utama pada rumah adat

Tidak diketahui secara pasti apakah jenis kayu tersebut juga tumbuh di daerah-daerah lain di Indonesia atau negara lain di dunia, termasuk nama latin sudah tersedia atau tidak. Namun di balik sekelumit ulasan tentang kelangkaan dan keunikan kayu mayeala tersebut di atas, ada fakta yang disaksikan penulis bahwa pada ekosistem kecil di Prai Pitting pada saat ini sekitar puluhan pohon mayeala tumbuh dan terus berkembang biak secara alamiah. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa salah satu contoh habitat alamiah yang ideal bagi mayeala ada di sana.


Tulisan ini bertujuan untuk mengulas mayeala dari aspek-aspek : ciri-ciri botani, sejarah tumbuh dan distribusinya di dalam ekosistem (Ekosistem Prai Pitting), ancaman dan rekomendasi pengelolaannya untuk anak cucu pada masa mendatang


Adapun ciri-ciri botani pohon mayeala tersebut digambarkan sebagai berikut:
- Akar tunggang serupa akar pohon nangka
- Batang dan cabang serupa batang/ cabang pohon nangka, tetapi memilik kulit batang agak lebih gelap (cenderung agak hitam)
- Kulit batang memiliki getah berwarna putih, serupa getah pada pohon nangka
- Daun: ukuran daun hampir sama dengan ukuran daun nangka tetapi pada bagian ujung daun agak lancip meruncing, warna daun hijau tua (sedikit lebih gelap /hitam dibandingkan dengan daun nangka)


Daun dan Buah Mayeala ( difoto pada tanggal 12-12-2008)

- Buah:
Buah mayela berukuran relatif kecil, hanya sebesar bakal buah nangka yang
masih kecil (panjang sekitar 3-5 cm). Di dalam setiap buah matang terdapat
sekitar 1-3 biji yang berukuran sebesar biji kacang tanah. Sejak buah masih
kecil hingga matang warna kekuning-kuningan, daging buah matang banyak
mengandung air, terasa sangat empuk dan mudah rusak. Buah mayeala matang
sangat disukai untuk dimakan oleh berbagai jenis burung antara lain: kelelawar,
burung dara, kakatua, nuri. Musim berbuah sekitar bulan Oktober - Desember ??
setiap tahun.


Ai Mayeala ( difoto pada tanggal 12-12-2008)

- Kayu:
Khususnya kayu pada bagian teras batang awalnya berwarna kekuning-kuningan
(serupa warna teras kayu nangka atau warna umbi tanaman kunyit) tetapi pada
saat selanjutnya warna kuning tersebut berubah menjadi hitam legam. Sifat lain
dari teras kayu mayeala yang cukup dikenal adalah licin, tampak mengkilap dan
sukar lapuk, termasuk bagian batang dari tiang rumah adat yang ditanam di
dalam tanah.


Sedikit sejarah Kampung Prai Pitting perlu diuaraikan karena terkait sebagai habitat atau ekosistem mayeala yang diangkat dalam tulisan ini.
Adapun Kampung Prai Pitting dimaksud pada awalnya merupakan kampung kebun dari nenek moyang 2 kabihu yang mendiami kampung sekarang ini, yaitu Kabihu Wei Wuli dan Kabihu Weina Tuna. Diperkirakan sudah sekitar 9 - 10 generasi yang mendiami kampung ini. Dituturkan secara turun-temurun bahwa ekosistem Prai Pitting pada awalnya dulu adalah milik kabisu Wei Wuli, tetapi pada saat kemudian nenek moyang Waina Tuna lebih awal menjamah dan bermukim di tempat ini dan terjadi transaksi pembagian lahan anatara nenek moyang kedua kabisu tersebut. Kawasan lahan pada bagian barat menjadi bagian kabisu Weina Tuna sedangkan kawasan bahagian timur menjadi milik kabisu Wei Wuli. Ada beberapa pohon kelapa berumur cukup tua yang masih disaksikan oleh penulis pada sekitar tahun 1970-an – awal tahun 1980-an, dimana pohon kelapa tersebut diperkirakan adalah seusia dengan awal pertama bermukimnya nenek moyang di tempat ini.
Kisah sejarah nenek moyong kabisu Weina Tuna khususnya, sebelum menetap di Prai Pitting bahwa awalnya mereka termasuk cukup mengembara dalam mencari lahan pertanian dan pemukiman yang ideal bagi mereka. Hal ini adalah seiring dengan bertambahnya anggota keluarga dan tuntutan kebutuhan pangan dan papan yang terjadi di kampng besar di Weina Tuna pada waktu itu. Awal mulanya mereka berkebun di Lahi Dakawuku dan Hoba Komih/Pahangu Ladi. Kemudian mereka berkebun dan membangun pemukiman di Tei Raa untuk selama kurun waktu yang retatif lama, selanjutnya mereka mengungsi di Hoba karena di Tei Raa mereka sangat terancam oleh serangan orang Lamboya yang melemparkan batu dan menggulingkan batu-batu berukuran besar dari atas puncak bukit Lahi Moru/Pangadu Wallu. Saat itu adalah masa kolonialisme Belanda dimana sedang berkecamuknya perang antar suku, antara orang Wanukaka dengan orang Lamboya (penggal kepala). Selanjutnya di Hoba pun mereka tak lama tinggal karena di tempat ini ternyata sangat dekat dengan sebuah danau kecil (hoba) yang sering mengakibatkan tenggelam dan matinya berbagai hewan peliharaan (ayam dan babi) mereka.
Akhirnya mereka berpindah lagi di sutau tempat dimana sekarang ini dikenal dengan nama Kampung Prai Pitting. Adapun aktivitas awal yang dilakukan nenek moyang pada saat awal pembukaan lahan dan pembangunan pemukiman di Prai Pitting adalah membabat hutan/rumpun bambu betun (pitting) yang saat itu tumbuh sangat rimbun. Dari kisah sejarah hutan bambu (pitting) inilah sehingga nama Prai Pitting diwariskan sampai saat ini.




Sekitar tahun 1950-an di dalam ekosistem Prai Pitting telah ada suatu areal hutan kecil, yaitu di Lahi Wora ( sekitar 200 m dari Kampung Prai Pitting) dimana di dalamnya terdapat sejumlah kecil pohon mayeala di antara pepohonan da semak. Lahan tempat tumbuh mayeala tersebut tergolong tidak subur (lahan berlereng curam dan jenis tanah berbatu) sehingga pertumbuhan dan perkembangannya hampir tidak berarti dan selama itu pula hampir tak ada pohon mayeala yang cukup besar untuk dapat digunakan dalam membangun rumah. Kawasan hutan kecil tersebut selama itu retatif tak terjamah oleh aktivitas manusia, hewan peliharaan dan relatif aman dari kebakaran (lokasinya lihat peta). Kuat dugaan bahwa pohon-pohon mayeala yang tumbuh dan berkembang pada beberapa titik areal lahan dalam ekosistem Prai Pitting pada saat ini sumber bernihnya tidak lain adalah berasal dari mayeala di hutan kecil Lahi Wora tersebut.

Pada sekitar tahun 1960-an, penulis saksikan sendiri bahwa untuk pertama kalinya ada 2 (dua) anakan pohon mayeala yang tumbuh (secara alami) di luar kawasan hutan kecil Lahi Wora, jarak lahan tempat tumbuh tersebut sekitar 1 km dari Lahi Wora tersebut. Tepatnya adalah di dalam lahan Kaliwo (kebun campuran dengan jenis tanaman dominan pada saat itu adalah : kelapa, sirih, pinang, aur/tamiang, pohon sukun, mangga, sebatang pohon beringin besar dan pepohan lainnya) di Tei Raa, atau berjarak sekitar 500 m dari kampung Prai Pitting. Dalam waktu relatif bersamaan itu pula satu anakan meyeala lainnya tumbuh di satu titik lahan lainnya (sekitar 20 m dari kampung Prai Pitting atau 200 dari hutan kecil Lahi Wora).
Kaliwu di Tei Raa khususnya termasuk lahan yang cukup memiliki sumber air (air permukaan), terdapat mata air kecil yang mengairi sebahagian besar permukaan lahan kaliwu tersebut. Pada sekitar tahun 1970-an – 1980-an beberapa pohon sukun besar yang ada di kaliwu pada saat itu dipotong, sedangkan tanaman pinang, sirih dan pohon kelapa tetap terpelihara seperti biasanya, termasuk anakan mayeala yang baru bertumbuh. Dalam waktu relatif bersamaan tanaman tamiang yang sebelumnya tumbuh cukup rimbun lambat-laun terhambat pertumbuhannya akibat dipotong berlebihan oleh penduduk.
Adapun pertumbuhan dan perkembangan anakan pohon mayeala selama itu berlangsung cukup alamiah, di samping ada campur tangan manusia dalam hal menyiangi tumbuhan-tumbuhan pengganggu, mengawasinya dari gannguan ternak dan menghindari kebakaran. Seiring perjalanan waktu, lambat-laun pohon mayeala tersebut menjadi bertambah besar, dan pada sekitar tahun 1980-an anakan-anakan mayeala tadi terus tumbuh dan bertambah banyak hingga sekarang ini. Populasi pohon mayeala di Kaliwu Tei Raa sekarang ini cenderung dominan dibandingkan dengan jenis tanaman lain seperti pohon pinang dan kelapa. Diperkirakan terdapat sekitar puluhan anakan dan puluhan pohon cukup besar (sebesar batang kelapa) dengan tinggi sekitar 20 m. Titik-titik lokasi tumbuh pun cukup terpencar di dalam kawasan ekosistem tersebut (lihat peta).
Seiring perjalanan waktu yang cukup panjang, tiga pohon mayeala yang tumbuh pertama seperti disebutkan di atas (umur pohon sekitar 50 tahun) telah dipotong untuk kebutuhan membangun rumah, yaitu satu pohon di Tei Raa dipotong pada tahun 1990-an dan 2 pohon lainnya dipotong pada tahun 2006 untuk pembangunan rumah besar di Pantai. Tinggi pohon pada saat dipotong adalah sekitar 20 meter dengan diameter batang sekitar 60 cm. Dari setiap batang pohon tersebut diperoleh sebatang tiang teras kayu keras (setelah batang kayu bagian luar atau floem dikeluarkan) berdiameter sekitar 35 cm, berwarna hitam dan licin, dimana tiang tersebut oleh penduduk dianggapnya sangat cocok dan sangat kuat untuk pembangunan rumah adat.



Ekosistem Prai Pitting terletak di dusun Puli desa Waihura, Kecamatan Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Adapun batas-batasnya sebagai berikut: di bagian utara dan bagian barat berbatasan dengan wilayah desa Pohola, di bagian selatan dan bagian timur berbatasan dengan lahan milik warga lain dalam dusun Puli. Jarak lokasi dari pantai Wanukaka melalui jalan pintas (jalan kaki) sekitar satu km, atau melalui ruas jalan pengerasan yang melewati kampung Puli berjarak sekitar 2 km.

Musim hujan November- Maret dan musim kemarau April- Oktober. Curah hujan 1500 mm per tahun.

Lahan ekosistem Prai Pitting didominasi oleh lereng bukit/ bahkan tebing. Tinggi tempat dari permukaan laut sekitar 20-60 m.

.
Ada beberapa sumber air untuk memenuhi kebutuhan minum dan pertanian bagi penduduk, mata air Lahi Wora (debit kecil dan mati pada puncak kemarau), mata air Lolu Watu ( debit cukup besar dan tahan pada kemarau) dan kali Lahi Mareki. Kebutuhan air untuk beberapa lokasi lahan kaliwu relatif terpenuhi karena sejak dahulu telah tersedia selokan air irigasi yang dibangun secara tradisional oleh nenek moyang. Letak mata air dan pola aliran kali tampak pada peta.

Jenis tanah yang dominan dalam ekosistem Prai Pitting adalah tanah berkapur (limestone) dan sedikit bobonaro clay.

Adapun ekosistem Prai Pitting yang diutarakan dalam konsep ini pada dasarnya bukanlah sebuah sistem yang terpisah dari lingkungan sekitarnya, tetapi merupakan bagian subsistem dalam hirarki sistem yang lebih luas. Konsep tentang batasan ruang dimaksud semata hanya didasarkan pada lokasi tumbuhnya pohon mayeala pada saat ini. Konsep batasan sistem di sini lebih bertujuan untuk mudah memahami karakteristik atau sifat-sifat dari sistem tersebut. Berdasarkan batasan ruang dalam sistem ini (peta), pemelik lahan adalah :
Lodu Boru (Kabisu Weina Tuna), Tuangu Talu dan Tuangu Hudi (kabisu Wei Wuli), warga kampung Prai Hoba, warga kampung Prai Odi, warga desa Pahola,.



Tataguna Lahan
1. Kampung
2. Tempat-tempat Ritual Marapu (4 titik tempat di Tei Raa, di gua Panga Wallu dan di kampung Prai Pitting)
3. Jalan
4. Mata air
5. Kali/sungai/salurann air irigasi
6. Air terjun ( Lahi Mareki/Lahi Moru dan Loku Pedang)
7. Ladang
8. Kaliwu
9. Sawah Tei Raa
10. Lahan konsentrasi tumbuh pohon Mayeala
11. Gua (di Pangadu Wallu)
12. Flora langka lain
- pohon: kalaitunu, pitting, laung, halou, langira,
- tumbuhan melata: rotan, kata, manini, panetang, lolu kobir,
- umbi-umbian: lutang, luwa, katilar, owi, kabota nahu)
13. Fauna langka: ular kaboku, ayam hutan, kaloiki, rawa tana


Vegetasi Dominan
.Vegetasi dominan di ladang: jagung, ubi kayu, talas, gembili, nenas
. Vegetasi dominan di kaliwu: kelapa, pinang, sirih, bambu, kalai tunu,
Mahoni, mayeala, pisang

Vegetasi dominan di sawah: padi
Vegetasi dominan di hutan belukar: gembili hutan, kusambi, lamtoro,
Ancaman potensial pada masa mendatang antara lain:
- Aktivitas penduduk
- Hewan ternak
- Kebakaran



Rekomendasi Pengelolaan dan Wasiat untuk Anak Cucu
Sesuai pengalaman masa lampau dan kenyataan saat ini, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Hindari ancaman-ancaman dari manusia (over eksploitasi, salah urus/salah kelola), oleh hewan dan kebakaran
2. Perlu ada pendidikan / penyuluhan kepada masyarakat dalam memelihara lingkungan hidup.
3. Perlu pelu pengawasan lebih intensif dan pembatasan kunjungan di lokasi
4. Perlu ada alternatif sumber pendapatan bagi penduduk
5. Tersedia dokumen tertulis: Wasiat untuk Anak Cucu tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Ai Mayeala (Terlampir)

0 comments:

Post a Comment